Thursday, July 30, 2009

Orang Pesisir Diberi Kapal, Harusnya Pedalaman Diberi Pesawat

Ketua DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang Costan Oktenka mengatakan, Pemerintah Provinsi Papua jangan hanya memerhatikan transportasi warga pesisir karena masyarakat di pedalaman di kawasan Pegunungan Tengah juga membutuhkan alat angkut yang memadai.

"Kalau penduduk di pesisir pantai bisa diberi Kapal Perintis, mengapa kami di kawasan Pegunungan Tengah Papua yang masih tertinggal dan sangat sulit transportasi tidak diberi pesawat terbang?" ujar Costan Oktenka saat ditemui di Jayapura, Rabu.

Ketua DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang itu mengatakan, Pemprov Papua sejak 2006 sudah membeli enam kapal perintis yang sekarang melayani penduduk di pesisir sehingga mereka dengan mudah dapat berpergian ke kabupaten dan kota lainnya.

Rakyat Papua di pedalaman di kawasan Pegunungan Tengah, katanya, hingga saat ini masih hidup susah dan tertinggal karena kesulitan transportasi udara.

Menurut dia, Pemprov Papua seharusnya jujur dan adil memberikan pelayanan bagi rakyatnya sehingga pembangunan di sana bisa secepatnya merata, mulai pesisir hingga pedalaman.

Dia mengatakan, kabupaten-kabupaten yang berada di kawasan pedalaman Pegunungan Tengah Papua selama ini dikategorikan daerah tertinggal meski sebenarnya bukan tertinggal, tetapi sengaja ditinggalkan pemerintah.

Costan Oktenka mengakui, untuk membangun kawasan Pegunungan Tengah Papua itu sangat sulit karena berbagai keterbatasan dan hambatan.

kompas.com

Pasir dikeruk, orang pesisir kian terpuruk

NASIB masyarakat nelayan di dua desa, Pantai Labu Baru dan Desa Regemuk, Kec. Pantai Labu, Deli Serdang kian hari semakin terombang-ambing tanpa kejelasan. Keterpurukan nelayan tradisonal ini dikarenakan ulah kepentingan pengusaha yang membawa alat berat mengeruk pasir pantai yang digunakan untuk menimbun Bandara Kwala Namu, Deli Serdang bakal pengganti Bandara Polonia Medan.

Tak tanggung-tanggung, sistem pengerukan yang dilakukan pihak PT Citra Trahindo Pratama cukup fantastis, dengan menggunakan alat penyulingan pasir yang cukup canggih dan langka di mata masyarakat nelayan.

Ketakutan nelayan cukup beralasan, karena limbah pengerukan pasir langsung di buang di laut, sehingga kekhawatiran berdampak pada pengrusakan habitat lingkungan laut.

Laut tak lagi seramah dulu, dimana selama ini para nelayan tradisional di dua desa itu mencari ikan di bibir pantai saat air pasang surut, kini tak bisa sebagai tempat bergantung hidup, "bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau."

"Selama ini kalau pasang surut, kami sering mencari kerang di topi (tepi-red)laut,"kata warga Desa Pantai Labu, Rabu (22/10), namun saat ini bak mimpi di siang bolong untuk menjamah kerang, pasalnya tempat mencari kerang itu sudah teronggok kekuatan mesin berangka besi untuk mengeruk pasir pantai.

Kontroversi adanya pengerukan pasir yang tak jauh dari bibir pantai ini karena mendatangkan rasa pupus harapan masyarakat nelayan di dua desa itu untuk menggantungkan hidup dari hasil menangkap ikan.

Aksi penolakan masyarakat nelayan Pantai Labu untuk menghentikan pengerukan terbilang sudah 'cukup-cukup' namun terkesan pihak pengusaha tidak menggubris aspirasi masyarakat itu.

Perjuangan masyarakat hingga ke tingkat emosional. Tangisan nelayan tak lagi menjadi senjata untuk mengguris hati para penegak hukum yang tetap betindak tegas, bahkan Jumat (17/10) lalu 10 nelayan diamankan polisi dari lokasi unjukrasa di pintu keluar/masuknya truk pengangkut pasir.

Pasca diamankannya 10 nelayan yang kini sudah dibebaskan pihak Kepolisian Resort Deli Serdang, sampai Rabu (22/10) sejumlah truk pengangkut pasir masih beroperasi, begitu juga alat berat masih melakukan pengerukan di perairan Pantai Labu.
Rasa frustrasi masyarakat sudah pada tingkat putus asa penegak hukum yang seharusnya bisa menjembatani permasahalan yang dihadapi para nelayan yang tidak menginginkan adanya penggalian pasir.

"Kami bukan tidak mendukung dibangunnya Bandara Kwala Namu,"kata nelayan, namun jangan sampai mengorbankan habitat laut yang berdampak pada perekonomian masyarakat nelayan.

Seharusnya, kata nelayan, pihak pemerintah daerah bersama penegak hukum mengajak masyarakat dengan pengusaha bersama pemerintah daerah untuk duduk bersama membahas permasalahan ini.

Ini terkesan sepihak, "tanah dikeruk, nelayan malah terpuruk,"kata warga, yang menginginkan masalah pengerukan pasir ini segera disikapi pihak terkait, sehingga tidak ada istilah jalan buntu untuk mencari solusi.

Pengerukan terus berlanjut, dengan dasar pengusaha memegang surat izin yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang, sebagaimana hasil musyarawarah antara Bapedalda Pemkab Deli Serdang bersama pihak muspika serta masyarakat nelayan beberapa bulan yang lalu.
Dalam hal perizinan ini, masyarakat nelayan sendiri sangat getol menggencarkan protes menolak ke absahan surat izin tersebut. "Masyarakat yang mana yang bermufakat lalu menyetujui dilakukannya pengerukan pasir,"kata nelayan di dua desa, Pantai Labu dan Regemuk.

"Kalau kami ikut mufakat dan setuju, gak mungkin kami berunjukrasa,"tandas nelayan, begitu juga dengan DPRD Deli Serdang sendiri saja pernah mengaku tidak mengetahui adanya mufakat tersebut.

Alasam masyarakat nelayan ini seakan tak mampu membendung keinginan pihak pengusaha untuk terus melakukan pengerukan sesuai dengan kebutuhan pembangunan Bandara Kwala Namu, Deli Serdang.

kat miskin tak mampu melawan tirani (tangan besi) para pengusaha untuk menguasai hasratnya tanpa mementingkan masyarakat nelayan yang kian hari pasrah mendengar raung mesin dari alat berat terus-menerus selama dua bulan ini melakukan pengorekan pasir pantai.

"Putus asa terhadap kebijakan pemerintah dan penegak hukum, makanya kami nekad melakukan aksi siap digilas roda truk guna menghentikan pengerukan pasir,"kata masyarakat nelayan yang berkumpul di sebuah warung kopi tepi jalan Desa Pantai Labu Baru, Rabu (22/10).
Ini sudah dibuktikan para nelayan trandisonal di dua Desa Pantai Labu Baru dan Desa Regemuk. Sepekan lalu nelayan yang melakukan unjukrasa nekad tidur di bawah kolong truk guna menghadang aktivitas truk pengangkut pasir dari lokasi pengerukan.
Perlu rasa kepedulian terhadap nasib para nelayan dari tangan pencetus kebijakan.

Bukan mustahil, kalau pengerukan pasir tidak disikapi, sama artinya membiarkan ‘bom waktu' menuju titik ledak amarah para nelayan yang sudah diambang batas kesabaran.
"Jika pemerintah daerah tidak bisa menjembatani permasalahan ini, kami sudah sepakat untuk menyampaikan aspirasi kepada Gubernur Sumatera Utara,"tandas masyarakat nelayan Pantai Labu, dengan menadahkan tangan pasrah karena tidak berdayanya mereka memperjuangan nasib.
Hanya satu harapan para nelayan Pantai Labu, yaitu menunggu kepedulian dari mereka para pembuat kebijakan yang memiliki rasa kepekaan sosial, terutama masyarakat nelayan Pantai Labu.
www.waspada.co.id